ChatGPT Image Jun 27, 2025, 01_03_08 PM

Konflik antara Iran dan Israel kembali menguatkan kekhawatiran dunia terhadap potensi meledaknya perang terbuka di kawasan Timur Tengah. Serangan udara, eskalasi militer, dan saling tuding sudah menjadi headline sehari-hari. Namun, di balik sorotan senjata dan politik, ada isu yang kerap luput dari perhatian: dominasi atas ilmu pengetahuan.

Salah satu suara yang menyoroti hal ini datang dari Mohammad-Javad Ardeshir Larijani, matematikawan ulung, diplomat senior, dan penasihat dekat Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatullah Ali Khamenei. Dalam salah satu pernyataannya yang menyentil, Larijani berkata:

“Jika hari ini kami dilarang memperkaya uranium, maka besok kami bisa jadi dilarang belajar fisika.”

Ini bukan sekadar keluhan politik. Larijani sedang mengungkapkan kekhawatiran yang lebih dalam: bahwa ilmu—yang seharusnya menjadi alat pembebasan umat manusia—telah berubah menjadi senjata dominasi global. Bagi negara-negara berkembang, terutama dunia Islam, ini adalah peringatan yang serius.

Antara Sains dan Hegemoni

Sejarah peradaban Islam membuktikan bahwa umat ini pernah menjadi pelopor dalam bidang ilmu pengetahuan. Dari Baghdad ke Kordoba, dari Khwarizmi hingga Ibnu Sina, ilmu tidak sekadar berkembang, tetapi menjadi mercusuar peradaban. Sains, di tangan umat Islam saat itu, adalah cahaya yang menyinari zaman.

Namun, situasi kini terbalik. Ilmu dan teknologi telah menjadi alat kekuasaan. Akses terhadap riset dan teknologi strategis sering kali dikendalikan oleh kekuatan besar dunia. Embargo, lisensi riset, bahkan algoritma digital menjadi pagar tak kasatmata yang membatasi bangsa lain untuk tumbuh mandiri.

Larijani memahami bahwa perang terbesar hari ini bukan hanya di medan laga, melainkan dalam pertarungan wacana, akses teknologi, dan kemandirian ilmu. Ia menyuarakan sesuatu yang kerap tak terungkap: bahwa ketergantungan teknologi adalah pintu masuk menuju ketergantungan ekonomi, dan pada akhirnya, ketergantungan politik.

Bangkit dengan Ilmu

Dalam pernyataannya, Larijani menyerukan kepada kaum mustaḍ‘afīn—mereka yang tertindas—untuk bangkit melalui penguasaan ilmu pengetahuan. Ia menyebut pentingnya menguasai bidang strategis seperti fisika, matematika, teknik, dan kedokteran. Ia juga menekankan pentingnya membangun budaya berpikir yang mandiri, serta menolak dikotomi palsu antara ilmu dan agama.

Ini adalah ajakan untuk keluar dari jebakan budaya konsumtif dan hiburan berlebihan—jebakan halus yang menjauhkan umat dari ilmu yang membebaskan.

Ilmu, bagi Larijani, bukan hanya alat produksi ekonomi. Lebih dari itu, ia adalah sarana izzah—kemuliaan dan kehormatan bangsa. Dan dalam konteks dunia yang tidak adil, ilmu bisa menjadi alat perjuangan paling strategis.

 Janji yang Terlupakan

Seruan Larijani memiliki resonansi kuat dalam nalar Qur’ani. Dalam QS Al-Qashash ayat 5, Allah berfirman:

“Kami hendak menganugerahkan karunia kepada orang-orang yang tertindas di muka bumi, menjadikan mereka pemimpin, dan menjadikan mereka pewaris bumi.”

Ayat ini bukan hanya janji spiritual, melainkan panduan peradaban. Bahwa posisi kepemimpinan dan kemerdekaan tidak datang tanpa prasyarat: kerja keras, ilmu, dan keberanian untuk membangun kemandirian.

Bangsa-bangsa tertindas tidak bisa berharap pada belas kasihan kekuatan besar. Mereka harus menyiapkan generasi yang cakap secara ilmiah, kuat dalam karakter, dan sadar akan harga diri sebagai bangsa yang merdeka..

Cahaya yang Tak Bisa Dipadamkan

Konflik Iran dan Israel adalah potret dari medan politik global yang rumit. Tapi suara seperti Larijani penting untuk kita simak, bukan karena afiliasi politiknya, tetapi karena ia mengingatkan kita pada sesuatu yang lebih fundamental: bahwa ilmu tidak boleh dijadikan alat penindasan.

Dalam dunia yang kian terhubung, bangsa-bangsa berkembang punya kesempatan untuk merebut kembali haknya atas ilmu pengetahuan. Tapi itu hanya bisa terjadi jika ada keberanian untuk berpikir mandiri dan tekad untuk melepaskan diri dari ketergantungan struktural.

Bangkitlah, wahai kaum mustaḍ‘afīn. Bangkit bukan hanya untuk bertahan, tapi untuk memimpin. Karena ilmu adalah cahaya yang tak akan pernah bisa dipadamkan, sekalipun oleh tirani paling gelap.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *