Oleh : KH. Ali Mustafa Ya’kub
Bila mereka ditanya apakah Anda ingin kembali lagi ke Mekkah, hampir seluruhnya menjawab “Ingin” . hanya segelintir yang menjawab “Saya ingin beribadah haji sekali saja, seperti Nabi Muhammad SAW”.
Tulisan ini untuk mengenang alm KH. Ali Mustafa Ya’kub (Mantan Imam Besar Masjid Istiqlal)

.Jika melaksanakan haji dan umrah berulang kali adalah hal yang lebih utama, tentu Nabi Muhammad SAW sudah mencontohkannya terlebih dahulu. Dalam ajaran Islam, terdapat dua jenis ibadah: ibadah yang bersifat pribadi (ibadah qashirah), di mana manfaatnya hanya dirasakan oleh orang yang melakukannya; dan ibadah yang bersifat sosial (ibadah muta’addiyah), yang manfaatnya dapat dirasakan oleh pelaku dan juga orang lain. Haji dan umrah termasuk dalam ibadah pribadi. Oleh karena itu, ketika dihadapkan pada pilihan antara ibadah pribadi dan ibadah sosial dalam waktu yang bersamaan, Nabi SAW lebih memilih ibadah sosial yang memberikan manfaat lebih luas kepada orang lain.
Menyantuni anak yatim, yang merupakan contoh ibadah sosial (muta’addiyah), dijanjikan oleh Nabi SAW sebagai jalan menuju surga, bahkan kelak akan hidup berdampingan dengan beliau. Sementara itu, ibadah haji yang mabrur memang dijanjikan surga, tetapi tanpa ada janji kedekatan khusus dengan Nabi. Hal ini menunjukkan bahwa ibadah yang bermanfaat bagi orang lain memiliki keutamaan lebih dibandingkan ibadah yang hanya berdampak pada diri sendiri.
Kala itu di Madinah, banyak orang yang menuntut ilmu langsung kepada Nabi Muhammad SAW. Mereka tinggal di serambi Masjid Nabawi yang disebut shuffah. Jumlah mereka mencapai ratusan, dan dikenal sebagai ahl al-shuffah. Mereka adalah para penuntut ilmu yang hidup sederhana dan tidak memiliki apa-apa selain dirinya sendiri, seperti Abu Hurairah. Nabi SAW bersama para sahabatnya turut menanggung kebutuhan makan mereka sehari-hari. Inilah contoh nyata ibadah sosial (muta’addiyah) yang dicontohkan Nabi, bukan dengan melakukan haji berulang kali atau rutin membawa jamaah umrah setiap bulan. Karena itu, para ulama dari kalangan Tabiin seperti Muhammad bin Sirin, Ibrahim al-Nakha’i, dan Malik bin Anas berpendapat bahwa melakukan umrah dua kali dalam setahun hukumnya makruh (kurang disukai), sebab Nabi SAW dan para ulama salaf tidak pernah melakukannya.
Dalam sebuah hadis qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, dijelaskan bahwa Allah bisa “ditemui” di tengah-tengah orang yang sedang sakit, kelaparan, kehausan, atau mengalami penderitaan. Nabi Muhammad SAW tidak pernah menyebut bahwa Allah dapat ditemui di sisi Ka’bah. Artinya, kehadiran Allah justru dekat dengan mereka yang lemah dan sedang menderita. Ini menunjukkan bahwa ibadah sosial adalah jalan untuk mendekat kepada Allah, bukan semata-mata ibadah yang bersifat pribadi. Dalam kaidah fikih pun disebutkan, “al-muta’addiyah afdhal min al-qashirah”, yang artinya ibadah sosial lebih utama daripada ibadah individual.
Jumlah jamaah haji asal Indonesia yang setiap tahunnya melebihi 200.000 orang memang terlihat membanggakan. Namun, jika dicermati lebih dalam, kondisi ini justru memunculkan keprihatinan. Sebab, sebagian dari mereka ternyata sudah menunaikan ibadah haji berkali-kali. Dalam kondisi seperti itu, bisa jadi kepergian mereka bukan lagi tergolong sunah, melainkan masuk kategori makruh, bahkan mungkin haram.
Di saat masih banyak anak yatim yang terlantar, ribuan orang kehilangan tempat tinggal akibat bencana, balita mengalami gizi buruk, masjid-masjid roboh, banyak orang kehilangan pekerjaan, ada yang hanya mampu makan nasi sisa, serta rumah yatim dan pesantren dibiarkan terbengkalai—lalu kita justru memilih untuk pergi haji kedua atau ketiga kalinya—maka penting bagi kita untuk merenung: apakah benar kita berhaji karena menjalankan perintah Allah? Ayat mana dalam Al-Qur’an yang memerintahkan kita untuk berhaji berkali-kali, sementara masih begitu banyak kewajiban sosial yang menanti? Apakah kita sedang mengikuti ajaran Nabi Muhammad SAW? Kapan beliau mencontohkan atau memerintahkan haji berulang kali seperti itu? Ataukah sebenarnya kita hanya mengikuti bisikan hawa nafsu yang dibisikkan setan, agar dianggap sebagai orang saleh oleh masyarakat? Jika niat kita seperti itu, maka ibadah haji kita bukan karena Allah, tetapi karena dorongan setan.
Sayangnya, masih banyak orang yang berpikir bahwa setan hanya menggoda manusia untuk melakukan kejahatan, dan tidak mungkin mendorong orang untuk beribadah. Padahal, mereka tidak mengetahui bahwa sahabat Nabi, Abu Hurairah, pernah mendapat bisikan dari setan agar membaca ayat kursi setiap malam. Ini menunjukkan bahwa ibadah yang didorong oleh godaan setan, sebenarnya bukan lagi bentuk ketaatan, melainkan sebuah bentuk kemaksiatan.
Setan, atau Iblis, memiliki pengalaman panjang dalam menyesatkan manusia. Ia sangat paham apa yang disukai manusia. Iblis tidak akan menggoda orang yang taat untuk minum minuman keras, tapi ia bisa membisikkan agar seseorang terus beribadah, termasuk berhaji berkali-kali, bukan karena Allah, melainkan demi gengsi atau pujian. Bila ibadah seperti haji dilakukan atas dasar bisikan hawa nafsu dan godaan setan, maka saat itu pula, orang tersebut telah masuk dalam golongan haji yang justru menjadi pengabdi setan. Wallahu a’lam.
Sumber : Buku “Haji Pengabdi Setan” Karya KH. Ali Mustafa Ya’kub